Kunjungan ke Bromo kali ini sebenarnya dadakan. Tidak terencana sama sekali. Alasan berkunjung ke tempat ini kedua kalinya adalah demi keponakan yang belum pernah wisata ke gunung bromo.
Jangankan berkunjung, selama kuliah di Surabaya saja, dia jarang berkelana ke tempat-tempat yang lokasinya dekat seperti mahasiswi pada umumnya.
Keponakanku ini, gadis yang tipenya sama sepertiku. Mager untuk beranjak kemana-mana kalau tidak diajak pergi oleh keluarga. Karena itu, saat ada acara di Surabaya dan usai menyempatkan diri mampir ke Ponorogo. Kami berempat, aku, pasangan halalku dan dua gadis ponakan. Berangkat menuju Bromo.
Perjalanan ke Bromo Dengan Kendaraan Pribadi
Yang berbeda dari perjalanan kali ini adalah kami mengendarai kendaraan sendiri. Tidak seperti tahun 2015, dimana kami menggunakan jasa sewa mobil plus supir yang sudah sepaket dengan mobil jeep dan biaya masuknya.
Berangkat dari Keputih Surabaya jam 10 malam. Kami berencana untuk santai selama perjalanan. Sebab, tubuh kami sedang agak kelelahan usai acara bersama keluarga besar dari pihak suami.
Kami berangkat melalui jalur Pasuruan. Dan berhenti di rest area Tosari. Kalau kunjungan sebelumnya, kami naik dari Malang.
Tiba di rest area Tosari sekitar jam 2 pagi. Udara sudah sangat teramat dingin. Seperti biasa, saat sampai, sudah banyak pedagang lokal menawarkan topi rajut dan sarung tangan. Kami membelinya, dua topi dan dua sarung tangan untuk ponakan.
Sebelum naik, saat itu sudah banyak wisatawan yang berangkat dengan menggunakan Jeep. Mas suami tampak sedang nego dengan supir Jeep. Tak lama ia menghampiri dan mengatakan kalau saat ini mobil Jeep sudah full booked. Karena banyaknya wisatawan yang berkunjung. Jadwal kami akhirnya digeser dan berangkat sekitar jam 8 pagi.
Sejujurnya, keponakan kami yang belum pernah ke Bromo ini tidak begitu ambil pusing. Dia bilang, "lumayan lah bisa tidur dulu." Sepakat akhirnya kami memutuskan tidur terlebih dahulu di dalam mobil. Berhubung tubuh kami memang sudah sangat lelah.
Jadi, kami tutup jendela dan hanya menyisakan sedikit saja celah. Benar-benar sedikit. Sebab udara di luar kendaraan sangat teramat dingin yang membuat tubuh kami menggigil.
Rest Area Tosari Desa Bromo
Selama tidur di dalam mobil. Tubuh kami banyakan meringkuk. Maklum, dinginnya belum terbiasa bagi tubuh orang Bekasi dan Surabaya pesisir. Jadi, dingin sedikit saja sudah membuat gigil tubuh dan gigi gemelutuk.
Bahkan, aku berkali-kali ke toilet karena dingin yang menusuk. Beruntungnya, di rest area ini lengkap ada toilet, mushola kecil seadanya dan warung. Mempermudah kami untuk beribadah saat azan subuh berkumandang.
Setelah solat subuh, kami menyempatkan nongkrong sebentar di warung samping toilet. Menyesap minuman hangat dan pisang goreng yang lezat sekali. Kemudian, kembali melanjutkan tidur, hahahaha. Benar-benar saving energy banget lah.
Saat mentari mulai menampakkan sinarnya sekitar jam setengah enam pagi. Silaunya memang sedikit mengganggu, tapi udara dinginnya masih tetap terasa hanya saja sedikit lebih ringan. Tidak sedingin dini hari tadi. Akhirnya kami satu per satu membuka mata dan bengong sejenak untuk mengumpulkan nyawa.
Setelah siap menyapa dunia, kami mulai persiapan pelan-pelan sambil menunggu waktu kedatangan mobil Jeep yang akan menjemput. Kami memutuskan kembali ke warung yang tadi subuh kami sambangi. Mengisi perut agar tidak sakit meski rasa lapar belum menyapa.
Sambil berbincang, barulah kusadari kalau banyak juga wisatawan yang berangkat siang seperti kami. Meski tidak sebanyak yang turun usai berkelana mengelilingi Bromo.
Jam menunjukkan pukul 8 pagi tepat. Dan mobil Jeep memasuki pelataran rest area. Kami pun bersiap untuk berangkat. Bismillah perjalanan akan dimulai. Sesungguhnya, waktu itu yang exited yaa aku sendiri. Dua ponakan ini sempat tampak biasa saja, tapi nantinya mereka bersenang-senang usai men-challenge diri sendiri.
Perjalanan Tiga Titik Sekitar Bromo
Photo by Ipeh Alena |
Sungguh, kunjunganku yang kedua di Bromo kali ini lebih berbeda. Sebab, aku bisa berkunjung ke tiga titik. Yaitu savana, padang pasir dan terakhir puncak kawah Bromo.
Jadi, waktu kunjungan pertama itu, kami memang hanya menyambangi dua tempat. Puncak tempat melihat sunrise kemudian puncak menuju kawah Bromo. Jadi, padang pasir dan savana nggak ada dalam jadwal.
Waktu sampai di padang pasir. Raut wajah kedua ponakan sudah tampak sedikit ceria. Iya hanya sedikit, pasalnya mereka mengira hanya sampai di padang pasir saja. Tapi, sudah kuberitahu kalau nanti, kita akan naik. Dan keputusan lanjut atau tidak ada di tangan mereka.
Dan keduanya kompak mengatakan lanjut. Jadilah kami melanjutkan perjalanan ke padang savana. Di sini, aku jadi teringat dengan kebakaran yang membuat tanaman di sana habis terbakar serta membuat coklat dan manisnya pemandangan berganti abu hitam legam. Sedih banget.
Alhamdulillah, saat mampir Agustus 2023 kemarin. Aku masih bisa menikmati pemandangannya. Memang kondisi saat itu sedang berangin kencang. Bahkan berawan tebal.
Oiya, saat kami ke sana, ternyata bertepatan juga dengan adanya perayaan syukuran warga desa Bromo. Jadi, ada beberapa ruas jalan ditutup. Tapi kami tak khawatir, toh pengemudi Jeep-nya sudah tahu harus lewat mana. Jadi, tetap santai. Konon, acaranya diadakan 3 hari 3 malam. Saat kami hendak menuju kawasan Bromo, melewati desa Bromo ini memang sudah dipadati banyak pengunjung. Bahkan, dekorasi kanan kiri jalan benar-benar semarak.
Kembali lagi ke perjalananku bersama duo ponakan. Lanjut menikmati padang savana, kami cukup lama berfoto-foto menikmati terik matahari yang tidak terasa menyengat. Bahkan, baju kami tidak berkeringat sama sekali. Kami juga bertemu banyak pengunjung yang sedang berfoto ria di padang rumput ini.
Setelah selesai. Akhirnya, perjalanan menuju titik terakhir tiba. Sampai di tempat perhentian, aku langsung menjelaskan sambil menunjukkan. Dimana titik kami berjalan kaki dan bisa istirahat. Dimana titik mulai jika ingin menuju kawah. Dan dimana titik mula tangga menuju kawahnya.
Sebelum mendapat jawaban, aku pastikan keduanya setuju untuk lanjut. Dan mereka mau mencoba dulu hanya sampai warung tempat awal mula menuju kawah.
Oiya, yang berbeda saat kunjungan ini adalah adanya toilet yang memudahkan pengunjung bisa buang air kecil / besar disini. Kalau dulu, belum ada toilet. Dan aku tidak berbohong, saat naik ke kawah, selama perjalanan banyak wisatawan yang mojok untuk buang hajat di antara bebatuan. Kalau sekarang sih enak, tinggal ke toilet saja.
Langkah Pertama Menghadapi Diri Sendiri, Sengitnya Pasir dan Tajamnya Aroma Kotoran Kuda
Selama perjalanan, berkali-kali aku dan pasangan menawarkan naik kuda pada kedua gadis. Tapi, mereka menolak dan memilih berjalan kaki sampai warung.
Usai tiba di warung, aku kembali menunjukkan titik awal pendakian yang cukup terjal dalam ingatanku. Sambil bercerita bagaimana pengalamanku waktu itu. Juga menegaskan, kalau mereka oke mau naik, aku juga akan oke lanjut naik.
Nah, salah satu dari gadis ini sebenarnya sudah pernah ke Bromo tapi sama sekali tidak naik ke kawahnya. Jadi, kunjungan keduanya ini menjadi keputusan besar baginya. Akankah dia kembali berhenti tanpa naik ke atas dan melewati anak tangga yang bisa bikin melet-melet, wkwkwkwk.
Sembari menatap kawah Bromo, kedua gadis ini tampak bernegosiasi melalui tatapan mata. Lucu juga kalau dilihat-lihat. Mereka seperti tengah mengalami gejolak batin yang lebih dahsyat dari memilih jurusan kuliah, wakakakaka. Aku dan pasangan hanya senyum-senyum saja melihat tingkah keduanya. Aku paham, medan yang terjal ditambah pengalaman keduanya yang memang tidak pernah melalui tempat seperti ini. Tentu bisa jadi tantangan besar yang menyurutkan niat.
Tak lama, usai setengah botol air mineral tandas. Keduanya setuju untuk lanjut. Aku kembali mengatakan pada mereka untuk mengatakan berhenti bukan saat tidak kuat. Tapi, saat masih sedikit kuat. Agar mereka masih punya tenaga untuk kembali turun menuju mobil Jeep.
Tapi, siapa sangka? Justru keduanya sampai ke bibir kawah dan kembali dengan selamat disertai wajah puas dan rasa senang yang tidak dibuat-buat.
Selama perjalanan menuju atas, kami membagi jadi dua tim. Tim satu yaitu pasangan dengan gadis 2 yang merupakan adik dari gadis 1. Dan aku bersama si gadis 1. Alasannya, karena tubuhnya yang berbobot dan egonya yang tinggi membuatnya sering ngeyel padahal tubuhnya melonglong meminta bantuan. Juga alasan sebagai sesama anak pertama, setidaknya aku bisa memahami egonya sedikit.
Pengalamanku membersamai gadis 1, cukup menantang. Sebab, saat menggunakan jalur padat yang tepat berada di sisi jurang. Dia sering jalan miring menuju bibir jurang tanpa ia sadari. Berkali-kali aku harus berteriak padanya untuk jalan ke arah kiri. Lama-lama, saat wajahnya menampakkan kelelahan tapi egonya berteriak kencang. Aku putuskan menggunakan jalur tengah, jalur berpasir dengan dinding yang tinggi sehingga tak perlu khawatir jurang. Paling, yaa sedikit tertantang karena aroma kotoran kuda yang menyengat disertai kotorannya yang berserakan.
Tapi, justru inilah jalur paling aman. Meskipun berkali-kali kami disuruh pengunjung lain untuk menanjak lewat jalur landai. Aku hanya lemparkan senyum sebagai jawabannya. Setidaknya, maklumi saja karena mereka tidak tahu alasan yang membuatku menggunakan jalur tersebut.
Dua langkah maju dan satu langkah mundur. Demikian yang aku tahu dari pendaki Semeru. Sebab, konturnya sama seperti Bromo, berpasir sehingga pijakan kami sedikit berat. Aku jadi mengingat pesan para pendaki, kalau mendaki itu yang menjadi goal-nya bukan mencapai puncak. Tapi, pulang dengan selamat.
Selama proses mendaki, aku meminta gadis 1 untuk sering-sering berhenti. Dia mengaku kalau kakinya sedikit gemetar tapi malu mengakui bahwa dia butuh istirahat. Agak ribet memang ketika mendaki dengan mereka yang egonya masih tinggi. Kita yang harus mau selalu mengingatkan agar dia tidak over bahkan jangan sampai collapse.
Beberapa kali berhenti dan aku memang menggunakan waktu untuk minum air sedikit demi sedikit. Sebab, dengan meminum air, membuat oksigen dalam darahku tetap bekerja dengan baik. Mengingat udara semakin menipis semakin tinggi pijakan kami.
Photo by Ipeh Alena |
Ketika sampai di titik awal pijakan tangga. Aku memberikan pertimbangan pada gadis 1. Sementara si gadis 2 sudah seperempat jalan di jalur tangga. Sedang berhenti istirahat. Aku menawarkan untuk berhenti mengingat wajahnya sudah merah. Matanya menampakkan kelelahan dan rasa ingin menyerah. Akhirnya, dia memutuskan lanjut. Sementara, aku diminta untuk menunggu di bawah, just in case si gadis 1 menyerah sehingga ada yang bisa menjemputnya ke atas yaitu aku.
Yang menjadi kegembiraan adalah kedua gadis ini berhasil sampai di bibir kawah. Memang tidak lanjut ke pinggir atasnya lagi. Cukup sampai di dekat tangga, itupun mereka memutuskan untuk berhenti.
Pendakian selesai dan mulailah mereka bisa bercerita betapa senangnya mereka selama perjalanan turun. Aku mengatakan bahwa perjalanan turun itu lebih mudah tapi harus ekstra hati-hati. Takutnya terlalu cepat, malah lupa cara mengerem tubuh. Dan perjalanan turun hingga ke parkiran Jeep, berjalan lancar dan selamat. Alhamdulillah.
A Lot of Things That Changed Me After Visited Bromo
Setelah selesai, kami kembali ke rest area. Ada pengalaman baru juga nih buatku. Sebab, saat jalan turun, suasana ditutupi kabut yang cukup pekat. Sementara pasanganku dan kedua gadis asik tertidur. Hanya aku yang terjaga sambil melihat betapa pekatnya awan sehingga harus ekstra hati-hati.
Disertai gerimis dan sesekali hujan, membuat udara tidak begitu dingin menggigil. Aroma petrikor menguar dan membuat sedikit tenang meski perjalanan sedikit menegangkan. Kalau dilihat dari foto, tampak tidak begitu pekat ya. Padahal, kalau dilihat langsung, jarak pandang hanya beberapa sentimeter saja. Kami seperti ditabrak kabut rasanya.
Photo by Ipeh Alena |
Sampai di rest area dengan selamat. Sayangnya, semua warung tutup. Toilet pun sudah tidak dijaga meski ada airnya sedikit (Kalau tidak dijaga dan menggunakan toilet, sebaiknya tetap bayar, ya). Sebab, semua warga, tak terkecuali yang memiliki usaha. Ikut serta dalam acara syukuran. Yang tidak ikut biasanya yang muslim, dan mereka justru berjaga - jaga di daerah lingkungan sekitar.
Kami menggunakan waktu sekitar tiga puluh menit untuk istirahat sejenak. Mengisi perut saat tanpa diduga ada abang bakso lewat. Setelahnya melanjutkan perjalanan untuk pulang ke Surabaya, mengantar gadis 2 kembali ke kosan. Dan setelahnya barulah kami bertolak lagi ke Bekasi. Oiya, jalur pulang dari Bromo, kami menggunakan jalur yang sama saat berangkat yaitu melewati Pasuruan. Sebab, dari map-nya, lebih dekat ke tempat kosan gadis 2 dengan lewat rute ini.
Selama kunjungan ke Bromo, niatku untuk bisa naik gunung ke beberapa gunung kembali bergelora. Dulu, saat bapak allahyarham masih hidup. Aku tak berani bermimpi muluk-muluk. Soalnya, bapak melarangku naik gunung walaupun sudah punya suami, hehe. Nah, justru setelah bapak pergi meninggalkanku dengan duka yang masih menggelayut seolah kekal berada dalam hatiku. Aku kembali ingin bermimpi. Walaupun yah, mungkin sesederhana tektokan gunung ungaran yang pendek.
Apapun itu, aku jadi berani bermimpi lah. Toh, namanya mimpi tidak berbayar. Jadi bisa aku puaskan bermimpi saja dulu.
Oiya buat teman-teman yang mau main ke Bromo. Ada beberapa hal yang harus diperhatikan ya.
1. Pastinya jangan bawa barang yang bisa menyebabkan kebakaran.
2. Pakai baju yang nyaman, kalaupun pakai gamis, usahakan pakai celana panjang juga ya.
3. Pakai sepatu sih lebih aman, biar enggak terantuk batu, hehe.
4. Pakai jasa Jeep dan BAYAR YA. Ini serius loh, pengemudi Jeep yang mengantar kami ternyata baru mengalami ditinggal kabur sama pelanggannya dan belum bayar. Ya ampun, tega banget :(.
5. Sebisa mungkin beli dagangan penduduk lokal yang berjualan. Di situlah sumber mata pencaharian mereka. Dan jangan ditawar juga ya.
Oke, buat yang mau jalan-jalan ke tempat wisata alam. Tolonglah ya. Jangan merusak kalau enggak bisa kontribusi apa-apa.
Salam lestari. Demi Indonesia berseri.